Anak, Berkah atau Bencana?

 serem yah lihat judulnya. Kok bisa sih memaknai anak sebagai bencana? jangan salah paham dulu. Sering sekali dalam keseharian saya mendengar keluh kesah seseorang, panggil saja namanya kembang (nama disamarkan yah) dia sudah menikah hampir 6 tahun lamanya dan baru dikaruniai seorang putri. Setelah 6 tahun, kalian pasti bisa menduga bagaimana bahagiannya dia akhirnya bisa memeluk seorang bayi, mendekap dan menyusui anak sendiri. Kebahagiaan kembang amat sangat tak terkira, hari hari pertama kelahiran bayi wassap saya di penuhi dengan ucapan ucapan syukurnya, ucapan ucapan bahagia yang tentunya itupun membuat saya ikut bahagia.

Minggu kedua kelahiran bayinya mulailah dy sedikit berkelu kesah, dimulai dari bayinya gak mau tidur, dia gak bisa istirahat, dan sedikit lagi kelu kesah. Saya yang sudah merasakan bagaimana "nikmat" nya punya bayi hanya bisa menjawab dengan emoticon swnyum dan mendoakan semoga bayinya gak rewel.

Minggu berganti bulan, dan semakin besar usia si anak semakin banyak pula kelu kesah yang disampaikan, saya pun tetap memberi dia semangat sebagai ibu baru. Saya tahu persis bagaimana perasaannya. Beradaptasi dengan segala kerumitan mengurus balita. Apalagi waktu sendiripun makin terbatasi. 

Sampai pada suatu hari saat saya pun sudah lelah dengan kelu kesahnya pada akhirnya saya menjawab keluhannya dengan sebuah kalimat "begitulah, mempunyai anak, tidak ada yang mudah" sungguh saat itu bukan berarti saya tidak mau lagi memberinya semangat, saat itu saya mungkin juga sedang lelah hingga tidak lagi punya energi untuk menyokongnya. Saya hanya berpikir sudah saatnya dia tahu bahwa kehidupan dengan anak tidak semudah yang dilihat di iklan susu. Ada banyak hal yang rumit untuk dijalani, ada banyak hal yang sulit dipelajari. Dan belajar itu akan dikerjakan setiap hari dengan ujian yang tiba tiba. 

Setiap anak adalah berkah, bencana itu datang dari diri kita sendiri datang dari pikiran kita yang terlalu menuntut anak menjadi seperti yang kita inginkan. Saat anak ternyata menjadi jauh berbeda dari ekspektasi kita, maka saat itu kita akan kecewa. Kekecewaan itulah yang harus kita atasi. Jadi apakah ibu tidak boleh berkelu kesah? Boleh sangat boleh karena ibu juga manusia. Tapi bagaimana cara kita berkelu kesah, bagaimana cara kita mencari solusi itulah yang harus kita pelajari. Sebagaimana halnya anak anak tidak memerlukan ibu yang sempurna kitapun tidak perlu anak anak yang sempurna. Kita hanya perlu anak anak yang bahagia.

Komentar

  1. yup emang bener. mau dianggap berkah atau bencana, tergantung dari cara pandang si ibu. kalo dia nggak siap ya pasti bencana. nggak siap mentalnya yak. pan ada yang keliatannya siap, begitu dapat anak malah ngamuk2 perkara anaknya mulu.

    BalasHapus
  2. Pagiii, Mbak Yuniar ...
    Ceritanya menarik. Sederhana sebenarnya idenya, tetapi sering terjadi pada siapa saja yang bergelar ibu. Sudah mengalir bagus tulisannya. Cuma perlu mengulang kembali penguasaan tata bahasanya.

    Pada awal paragraf saja sudah ada kesalahan yang cukup fatal, yang langsung kelihatan. Penggunaan huruf kapital di awal kalimat dan nama orang. Saya contohkan di sini:

    serem yah lihat judulnya. Kok bisa sih memaknai anak sebagai bencana? jangan salah paham dulu. Sering sekali dalam keseharian saya mendengar keluh kesah seseorang, panggil saja namanya kembang (nama disamarkan yah) dia sudah menikah hampir 6 tahun lamanya dan baru dikaruniai seorang putri. Setelah 6 tahun, kalian pasti bisa menduga bagaimana bahagiannya dia akhirnya bisa memeluk seorang bayi, mendekap dan menyusui anak sendiri. Kebahagiaan kembang amat sangat tak terkira, hari hari pertama kelahiran bayi wassap saya di penuhi dengan ucapan ucapan syukurnya, ucapan ucapan bahagia yang tentunya itupun membuat saya ikut bahagia.

    Dalam paragraf tersebut juga terdapat beberapa kalimat yang terlalu boros dan bisa dipenggal menjadi beberapa kalimat.

    Perhatikan editan yang saya lakukan:

    Seram yah lihat judulnya. Kok bisa sih memaknai anak sebagai bencana? Jangan salah paham dulu!
    Sering sekali dalam keseharian, saya mendengar keluh kesah seseorang. Panggil saja namanya Kembang (nama disamarkan yah). Dia sudah menikah hampir 6 tahun lamanya dan baru dikaruniai seorang putri. Kalian pasti bisa menduga bagaimana bahagianya dia. Akhirnya bisa memeluk, mendekap dan menyusui seorang bayi, anaknya sendiri. Kebahagiaan Kembang tak terkira. Hari-hari pertama kelahiran bayinya, wassap saya dipenuhi dengan ucapan-ucapan syukurnya. Ucapan-ucapan yang membuat saya ikut bahagia.

    Materi berikutnya akan saya bagikan perangkat-perangkat yang dapat membantu teman-teman untuk lebih mudah mengingat tentang tata bahasa. Semoga setelah itu tulisan yang dihasilkan akan lebih baik lagi.

    Ok Mbak, lanjut terus menulisnya ya? Insya Allah akan terjadi peningkatan dalam teknik penulisannya.

    BalasHapus
  3. Ya.. intinya kita harus easy going dan bersyukur :-)

    BalasHapus
  4. Itulah kenapa orang bilang, jadi orang tua itu tidak pernah membosankan. Ada aja suka duka nya.

    BalasHapus
  5. Menikmati peran jauh lebih mengasyikan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer